Kenapa Jepang Terkenal Dengan Sifat Pantang Menyerah? Sejarah Bom Atom Membuat Jepang Pantang Menyerah
Kenapa Amerika Serikat harus menjatuhkan bom atom? Apakah tidak ada alternatif lain? Artikel ini akan mengupas kronologi Perang Pasifik yang klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat kedua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Setiap perang memiliki peran dan pengaruh bagi sejarah dunia. Kehancuran dan kematian yang diciptakan perang sudah pasti meninggalkan luka di daerah yang mengalaminya, sekitarnya, dan bahkan di tempat yang jauh dari lokasi perang.
Perang Dunia II adalah perang terhebat dalam sejarah manusia yang otomatis mempengaruhi jalannya sejarah dunia sampai hari ini. Pengaruh yang paling mudah, paling langsung terasa buat kita salah satunya adalah kemerdekaan Indonesia. Tanpa Perang Dunia II di Asia atau yang kadang disebut juga “Perang Pasifik” ini, kemerdekaan Indonesia takkan tercapai pada 17 Agustus 1945. Tanpa Perang Pasifik ini, bentuk negara Indonesia tidak akan seperti yang kita ketahui sekarang.
Selain kemerdekaan Indonesia, pengaruh lain Perang Pasifik yang amat terasa adalah persenjataan nuklir. Munculnya senjata spektakuler inilah yang menyebabkan terjadinya “Perang Dingin” antara kedua pemenang Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang yang amat berbeda dengan perang-perang sebelumnya. Perang yang tanpa baku tembak pun, kehancuran total bisa terjadi dalam sekejap mata.
Bahkan hari ini, hampir 30 tahun setelah Perang Dingin selesai, dampak persenjataan nuklir masih terasa. Sampai hari ini, Jepang masih menjadi satu-satunya negara yang kotanya dijatuhi bom atom. Seluruh dunia masih ramai membicarakan tewasnya ribuan rakyat Hiroshima dan Nagasaki akibat ledakan mahadahsyat kedua bom atom. Begitu banyak orang masih memperdebatkan:
“Perlu gak sih bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki? Apakah Amerika Serikat memang sekejam itu sampai harus menggunakan bom atom untuk memenangkan perang?”
Ini pertanyaan penting sebab pertanyaan ini akan mempengaruhi perang di masa depan. Proses menjawab pertanyaan ini juga akan menyibak beberapa hal yang kurang diketahui oleh banyak orang. Gw harap artikel ini bisa membuka perspektif lo supaya bisa melihat suatu isu dari berbagai sudut pandang, bukan dari satu sisi saja. Lebih lanjut, gw harap artikel ini bisa mengajak lo untuk lebih bijak menyikapi banyak hal, tidak hanya mengenai keputusan pemerintah sendiri, pemerintah asing, tetapi juga keputusan-keputusan yang lo ambil sebagai seorang individu.
Siap-siap yah, soalnya ceritanya panjang nih. Untuk menjawabnya, kita mesti tahu bagaimana jalannya Perang Pasifik yang klimaksnya adalah kedua bom atom. Perjalanan ini adalah dasarnya, alasannya kenapa akhirnya 2 bom atom itu digunakan.
Awal Perang Pasifik
Perang Pasifik adalah perang antara Amerika Serikat melawan Kekaisaran Jepang pada 7 Desember 1941 – 14 Agustus 1945 (kalender Amerika Serikat) atau 8 Desember 1941 – 15 Agustus 1945 (kalender Asia).
Supaya lo lebih nyambung dengan apa yang gw ceritakan, ada baiknya lo baca artikel gw sebelumnya ya:
Latar Belakang Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II
Intinya, perang terjadi karena ketidakpuasan Jepang akan hasil Perang Dunia I, akan tatanan dunia saat itu yang didominasi oleh negara-negara Barat. Para pemimpin dan rakyat Jepang merasa Jepang sudah ditakdirkan memimpin Asia! Jepang berhak atas sumber daya alam yang berlimpah ruah di Asia, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan negeri Barat lainnya.
Budaya Jepang yang amat mementingkan gengsi, kehormatan, dan rasa malu mengalahkan pertimbangan rasional bahwa perang melawan negeri-negeri Barat, termasuk Amerika Serikat, akan menjadi bencana sendiri buat kekaisaran Jepang. Sifat pasif pemimpin-pemimpin senior Jepang saat itu membuat perang menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa peringatan atau deklarasi perang, Jepang membom Pearl Harbor tanggal 7 Agustus 1941. Amerika Serikat sontak kaget dan merasa seperti ditusuk dari belakang karena pada saat bersamaan Jepang sedang mengusahakan diplomasi perdamaian.
Tak lama setelah serangan Pearl Harbor, pasukan Jepang menyerang jajahan-jajahan negara Barat di Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Perang penaklukan dimulai. Perang Pasifik pun dimulai.
Faktor Industri dan Ekonomi
Perang di abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20 adalah perang industri. Kapasitas industri menjadi faktor utama penentu kemenangan. Pabrik siapa yang bisa membuat tank lebih banyak? Pabrik siapa yang bisa membuat pesawat terbang lebih canggih? Pabrik siapa yang bisa membuat kapal perang yang lebih besar? Dan seterusnya.
Sebelum perang dimulai pun, banyak pemimpin senior Jepang sudah merasa mereka tak mungkin menang. Dasarnya adalah faktor industri ini. Mereka tahu betul pabrik Amerika Serikat JAUH lebih banyak dan besar. Rakyatnya juga dua kali lipat lebih banyak. Begitu pula sumber daya alamnya. Jangan lupa juga, ini bukan cuma soal kuantitas, tapi juga soal kualitas. Teknologi Amerika Serikat saat itu minimal setingkat di atas teknologi Jepang1.
Nah, kalau membicarakan Perang Pasifik, kita sedang membicarakan perang laut. Di tahun 1940-an itu, kapal terpenting dalam perang laut adalah Kapal Induk (Aircraft Carrier). Sekarang, coba perhatikan tabel berikut yang menjabarkan berapa banyak kapal induk yang digelontorkan oleh pabrik kapal Jepang vs pabrik kapal Amerika Serikat selama Perang Pasifik:
TAHUN | JEPANG | AMERIKA SERIKAT |
1941 | 6 | 0 |
1942 | 4 | 18 |
1943 | 2 | 65 |
1944 | 5 | 45 |
1945 | 0 | 13 |
Total | 17 | 141 |
Sumber: http://www.combinedfleet.com/economic.htm
Sesaat sebelum perang dimulai, jumlah kapal induk Jepang memang lebih banyak. Tapi dengan kekuatan industrinya, Amerika Serikat dengan sigap menyalip dan jauh mengungguli produksi kapal induk Jepang selama Perang Pasifik berlangsung.
Setiap kali melihat tabel ini, gw geleng-geleng dan bergumam:
Itu orang-orang Jepang otaknya miring yah menyatakan perang melawan Amerika Serikat? Gak takut DIBANJIRI oleh mesin perang Amerika Serikat?
Jalannya Perang Pasifik
Jomplangnya kemampuan produksi ini terlihat jelas di medan perang. Di awal perang, Jepang yang menang start, menang semangat, apalagi didukung faktor kejutan bisa merebut Asia Tenggara dengan amat mudah dan cepat. Namun, laksamana Yamamoto (komandan armada Jepang) sendiri sudah meramalkan “Enam bulan pertama kita akan sukses. Berikutnya sih gelap.”
Periode gelap dimulai Mei 1942, ketika Amerika Serikat bisa mengimbangi Jepang dalam pertempuran Laut Karang. Walaupun pihak Jepang memenangkan pertempuran ini secara taktis, armada mereka membatalkan rencana untuk merebut ibu kota Papua Nugini. Lalu, kegelapan benar tiba pada Juni 1942 dalam pertempuran Midway di dekat Hawaii. Di luar dugaan, Jepang kehilangan 4 kapal induknya sementara Amerika Serikat cuma kehilangan 1. Perhatikan, pertempuran Midway terjadi awal Juni 1942, tepatnya 6 bulan setelah Pearl Harbor. Ramalan Yamamoto menjadi kenyataan.
Setelah Midway, kedua belah pihak bertempur mati-matian di daerah Guadalcanal. Agustus 1942 sampai Febuari 1943, keadaan berimbang. Kedua belah pihak ganti-gantian kehilangan kapal perang. Tapi dengan keunggulan industri seperti yang terlihat pada tabel di atas, Amerika Serikat tak perlu risau dengan kapal induk yang karam karena tergantikan dengan produksi kapal induk baru yang lebih banyak. Lain halnya dengan Jepang.
Setelah Midway dan Guadalcanal, pihak Jepang pun tiba-tiba merasa kesulitan baru: mereka kurang cepat memproduksi pilot! Pelatihan pilot Angkatan Laut (AL) Jepang itu terkenal berat dan sulit. Akibatnya, cuma sedikit pilot yang bisa lulus sekolah penerbangan AL Jepang. Lulusan-lulusan baru sekolah penerbangan ini tidak sebanyak pilot yang gugur di Midway, Guadalcanal, dan tempat lain. Pihak Amerika Serikat bukan cuma punya lebih banyak calon pilot, tapi sekolah penerbangannya tidak seberat pihak Jepang sehingga produksi pilot mereka juga terus menambah jumlah pilot di kapal induk mereka.
Di tahun 1943, ketika Amerika menerima 65 kapal induk baru, Angkatan Laut Amerika Serikat bergerak. Kehadiran puluhan kapal induk baru ini membuat Amerika Serikat bisa memenuhi langit pulau manapun di Samudera Pasifik dengan pesawat mereka.
Menang saja tidak cukup. Menang dengan berlebihan, dengan amat telak, OVERKILL, barulah aman!
Itulah prinsip armada Amerika saat itu. Armada Jepang pun tahu diri, mereka menghindar, tak berani lagi menghadapi armada Amerika Serikat seperti di Midway atau Guadalcanal.
Akibatnya, armada Amerika Serikat dengan mudah merebut Irian, kepulauan Gilbert, dan Marshall. Tidak ada pulau benteng milik Jepang yang bisa menahan serbuan armada raksasa milik Amerika Serikat ini.
Namun, pihak Amerika Serikat kali ini bertemu dengan sesuatu yang mengejutkan mereka: sikap pantang menyerah pasukan Jepang! Saat pasukan Jepang di pulau-pulau itu terkepung, hampir tidak ada yang menyerah. Sampai titik darah penghabisan mereka bertempur! Bahkan ketika peluru mereka habis, mereka tak segan menyerang tentara dan tank Amerika Serikat dengan katana! Ketika sudah terpojok, ketika tak bisa melawan lagi, ramai-ramai tentara Jepang masih menerjang tentara Amerika Serikat, atau malah … bunuh diri.
Seharusnya sih sudah menyerah…
1. Teror B-29
Di tahun 1944, Amerika Serikat memproduksi senjata terbaru, yaitu pesawat pembom B-29. Pesawat ini bisa mengangkut bom sebanyak 10 ton dan radius terbangnya sekitar 2000 kilometer! Jika kepulauan Mariana jatuh ke tangan Amerika Serikat, badai B-29 akan menerjang Tokyo, Osaka, Kobe, dan kota-kota Jepang lainnya! Jadi, ketika armada raksasa Amerika Serikat bergerak ke arah Mariana, Jepang tak punya pilihan. Armada Jepang harus dikerahkan.
“Pertempuran Laut Filipina” yang terjadi akibat dari pertemuan kedua armada ini berakhir dengan pembantaian. Pesawat Jepang yang kalah jumlah, kalah kualitas, dan kalah taktik disapu bersih dari langit. Tiga kapal induk besar Jepang karam bersama dengan 2 tanker, sementara tak satu kapal Amerika pun karam. Lebih penting lagi, Jepang kehilangan 600-an pilotnya yang amat sulit digantikan karena pelatihan pilot itu sulit dan lama. Apa gunanya kapal induk kalau tak ada pesawat terbangnya?2
Jadi, setelah pertempuran ini, Jepang kehilangan pilot-pilotnya dan kehilangan Mariana. Dalam 1-2 bulan kedepan, badai B-29 akan dimulai. Hujan bom akan menjadi hal rutin buat tanah air Jepang.
Di tahun 1945, keadaan bertambah buruk. Bukan cuma hujan bom, kapal tempur Amerika Serikat dan Inggris mulai muncul di pantai-pantai Jepang, membombardir pabrik-pabrik di pantai Jepang yang tak terjangkau oleh B-29, meneror penduduk di area tersebut.
Kalau negara lain mengalami hal ini, pilihannya jelas: langsung minta damai! Menyerah! Namun, ini Jepang, bung! Orang Jepang PANTANG MENYERAH! Bukannya ini saat tepat untuk menyerah? ENGGAK, MENYERAH ITU MEMALUKAN!
2. Blokade Sumber BBM
Saat negeri Jepang sedang dibakar, dihancurkan, diluluhlantakkan oleh pesawat-pesawat B-29, pihak Amerika Serikat meneruskan serangannya. Sasaran berikutnya, jajahan Amerika Serikat sendiri, Filipina. Oktober 1944, armada dan tentara Amerika bergerak ke Filipina. Kalau Filipina jatuh ke tangan Amerika Serikat, kapal tanker Jepang takkan bisa mengangkut minyak bumi dari Kalimantan dan Sumatera ke tanah air Jepang. Tidak akan ada bensin dan solar buat kapal, pesawat, tank, dan mesin perang Jepang. Jepang pun mengumpulkan sisa armadanya dan mencoba menggagalkan serangan Amerika ini. Hasilnya, dalam “Pertempuran Teluk Leyte”, armada Jepang tamat riwayatnya. Serangan Amerika ke Filipina tak bisa dibendung.
Sekali lagi, kalau negara lain yang mengalami hal ini, sudah pasti langsung mengibarkan bendera putih. Bagaimana mau berperang kalo gak punya BBM? Namun, INI JEPANG BUNG! Pantang menyerah! Lebih baik mati daripada menyerah!
3. Kelaparan Merajalela di Jepang
Saat itu, rakyat Jepang juga sudah kelaparan. Mereka masih bisa menghasilkan beras di daerah Kyushu dan Korea, tapi rel kereta api untuk mengangkutnya sudah pada putus. Lebih penting lagi, kapal-kapal yang biasa digunakan untuk mengangkut juga tak bisa digunakan lagi. Selat-selat sempit di kepulauan Jepang sudah dipenuhi ranjau-ranjau yang disebar oleh B-29 Amerika.
Akibatnya, kelaparan di mana-mana. Rakyat Jepang sampai harus makan serbuk gergaji sebagai pengganti lauk mereka. Strategi blokade ini akan memakan jutaan nyawa. Tidak dalam sekejap mata, tapi perlahan satu demi satu rakyat Jepang bertumbangan karena kekurangan gizi. Balik lagi ke fakta bahwa kalau negara lain yang mengalami hal ini, mereka pasti sudah mengibarkan bendera putih, menyerah kalah! Tapi ini Jepang bung! PANTANG MENYERAH! SEMANGAT!
Kita Harus Menunggu Satu Pertempuran Terakhir!
Para elite Jepang tidak bodoh. Mereka sudah tahu peluang mereka menang sudah habis paling telat Oktober 1944, tapi mereka tak mau malu. Menyerah cuma akan mempermalukan diri! Apalagi ada satu hal lagi yang mereka takutkan: Sekutu akan menurunkan kaisar Hirohito dari tahta. Padahal menurut Shintoisme (kepercayaan banyak rakyat Jepang), kaisar Hirohito adalah dewa matahari!
Mereka akhirnya sepakat untuk terus berperang. Menurut rencana mereka, kegigihan mereka akan menggentarkan pihak Amerika Serikat. Negara Barat yang “lembek” yang “jiwanya terlalu hedon dan materialistis” itu tidak akan berani berperang kalau mereka sudah tahu betapa gigihnya, betapa pantang menyerahnya bangsa Jepang. Kalau Amerika Serikat itu terlalu ndableg dan akhirnya menyerang tanah air Jepang, para elite sudah siap. Mereka akan menghadapi Amerika Serikat dalam pertempuran terakhir. Mereka akan menggunakan SEMUA pesawat, tank, serdadu, bahkan rakyat Jepang dalam pertempuran terakhir ini. Setelah kehilangan begitu banyak tentara, pihak Amerika Serikat pasti gentar juga dan akhirnya akan meminta damai pada Jepang. Saat itulah Jepang bisa mengajukan perdamaian yang lebih ringan, misalnya Jepang mau mempertahankan Taiwan, Korea, dan pantai Cina.
Jepang juga amat mengharapkan Uni Soviet, yang saat itu tidak berperang dengan Jepang, bisa menjadi juru damai. Para elite Jepang waktu itu langsung menghubungi pihak Uni Soviet, tapi pihak Uni Soviet … memberikan jawaban ambigu. Para elite Jepang tak tahu, Uni Soviet sedang menyiapkan bala tentaranya untuk menyerang Manchuria dan Korea. Menurut perjanjian dengan pihak Amerika Serikat, tiga bulan setelah berakhirnya perang melawan Hitler, pasukan Uni Soviet akan menyerbu wilayah Jepang! Hal ini sengaja disembunyikan dari pihak Jepang. Pihak Jepang yang di-PHP-in masih terus menerus ngarep pihak Uni Soviet akan membantu mereka.
Karena pertimbangan itulah, mayoritas elite (termasuk kaisar Hirohito) sepakat untuk mempersiapkan, lalu menunggu one final battle ini! Demi kelangsungan takhta, demi harkat dan martabat Jepang!
Operasi Olympic untuk Menyerbu Tanah Air Jepang
Di pihak Amerika Serikat, dari Filipina mereka merebut pulau Iwo Jima dan Okinawa. Pertempuran sengit di dua pulau itu lebih hebat daripada sebelum-sebelumnya. Pasukan Amerika kembali dihadapkan dengan pasukan Jepang yang pantang menyerah, yang lebih suka bunuh diri daripada menyerah. Para jendral dan laksamana Amerika pun mulai “frustasi”:
Wah edan nih Jepang. Udahlah nusuk kita dari belakang. Nekat perang lawan kita. Kapal induknya udah pada karam. Pesawat tempurnya apalagi. Bom udara udah hampir tiap hari. Rakyatnya kelaparan. Tapi Jepang gak mau nyerah juga?! Apa kita musti menyerang tanah air Jepang secara langsung??
Di sini, keadaan menjadi rumit buat Amerika Serikat.
Rencana untuk menyerang kepulauan Jepang mulai disusun dengan kode “Operation Downfall” yang dipecah menjadi operasi-operasi lebih kecil. Dimulai dari “Operation Olympic”, yaitu merebut pulau Kyushu, pulau besar paling Selatan. Inilah “One Final Battle” yang ditunggu oleh para elite Jepang.
Seluruh tentara Jepang sudah dipusatkan untuk membantai semua tentara lawan yang mencoba mendarat di pantai pulau Kyushu. Bukan cuma tentara, anak-anak kecil pun sudah dibagikan bambu runcing dan dilatih untuk “Menusuk perut setan bule yang akan memperbudak bangsa Jepang“. Yah, anak SD yang kecil-kecil itu sedang disiapkan untuk MENERJANG pasukan Amerika Serikat.
Di sisi lain, Jepang saat itu sudah kekurangan pilot tangguh. Solusi mereka adalah menciptakan pasukan kamikaze, pilot-pilot amatir yang ditugaskan untuk menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal Amerika. Pasukan bunuh diri ini mulai digunakan di “Pertempuran Teluk Leyte” dan terus disempurnakan. Pihak Amerika akhirnya berhasil menemukan resep ampuh untuk menghadapi pasukan bunuh diri ini, yaitu menyebar kapal perang mereka di samudera luas sehingga pasukan bunuh diri ini jauh dari kapal-kapal paling penting yang berada di tengah armada mereka.
Masalahnya, dalam Operasi Olympic ini, mau tak mau armada Amerika harus berada di pantai, jadi pasukan Kamikaze bisa mendekati mereka dari sisi darat, tak terlacak, dan langsung menubrukkan diri ke kapal-kapal yang mengangkut tentara dan tank. Saat itu, semua pesawat Jepang yang tersisa bersama pilot-pilot kamikazenya sudah disembunyikan oleh pihak Jepang di bandara-bandara rahasia. Pihak Amerika tak mungkin bisa menemukan dan menghancurkan bandara-bandara rahasia yang tersembunyi oleh gunung dan bukit di seluruh Jepang. Artinya, mereka harus menghadapi ribuan pesawat terbang bunuh diri ini saat Operasi Olympic berlangsung.
Bayangkan apa yang terjadi begitu sebuah pesawat bunuh diri menghajar sebuah kapal yang mengangkut ribuan tentara. Bayangkan ribuan pesawat bunuh diri menghantamkan dirinya ke ribuan kapal yang mengangkut pasukan Amerika.
Jadi, saat Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika “menebak” kerugian akibat operasi Olympic, muncullah angka spektakuler, yaitu lebih dari 500 ribu tentara dan pelaut Amerika Serikat akan tewas dan terluka dalam Olympic.
Melihat angka spektakuler itu, petinggi-petinggi Amerika Serikat gentar juga. Apa mereka siap mengirim ratusan ribu rakyat Amerika itu untuk mati di tanah Jepang? Apa kata keluarga tentara-tentara yang tewas itu? Apalagi kalau kita menghitung juga korban di pihak Jepang. Jumlah tentara dan rakyat sipil Jepang yang terbunuh dalam Olympic diperkirakan dalam satuan jutaan. Yah betul, JUTAAN orang Jepang akan tewas dalam pertempuran terakhir ini.
Gimana caranya membuat orang yang PANTANG menyerah ini menyerah sih? Ah, seandainya ada cara supaya Jepang mau menyerah tanpa invasi …
Oh iya, proyek Manhattan katanya berhasil bikin bom atom kan?
Keputusan Dijatuhkan Bom Atom
Keputusan penggunaan bom atom tentunya tidak diambil dengan gampang. Pihak Amerika sadar betul, satu bom ini akan membunuh puluhan sampai ratusan ribu rakyat Jepang dalam sekejap mata. Namun, kalau bom atom tak digunakan, alternatifnya adalah operasi Olympic yang akan memakan korban jutaan atau bencana kelaparan rakyat Jepang yang juga akan memakan jutaan korban.
Oke, Jepang ndableg, gak mau nyerah padahal seharusnya menyerah. Sifat “pantang menyerah” ini membuat pihak Amerika Serikat sampai pada keputusan bom atom harus digunakan. Bagaimana menggunakannya? Bisa tidak menggunakan bom atom tanpa korban? Bukankah yang penting adalah “kesan” akan dahsyatnya bom atom itu, bukannya korbannya?
Sempat terpikir untuk memperingatkan pihak Jepang bahwa Amerika akan menjatuhkan bom atom di LUAR kota, di tanah kosong Jepang yang minim penduduk. Mereka akan memperhatikan tanah kosong itu, dan melihat ledakan bom terbaru ini. Mereka akan tahu persis hebatnya bom atom tanpa mengalami korban. Kalau mereka melihat ledakan sedahsyat itu, mereka menyerah dong?
Sayangnya, bisa saja pihak Jepang sengaja mengumpulkan tawanan perang mereka ke tempat tersebut. Kalau titik tersebut sudah dipenuhi tentara-tentara Amerika, Inggris, Belanda, dll; apakah Amerika Serikat masih mau menjatuhkan bom atom ke titik itu? Mau dijatuhkan salah, mau batal juga salah! Hadeeuh..
Akhirnya, diputuskanlah tetap yang terbaik adalah menjatuhkan bom atom itu dulu secara tiba-tiba, barulah mengumumkannya. Setelah itu, bom atom kedua benar-benar dibutuhkan agar tidak ada keraguan Amerika memiliki senjata itu. Bom atom kedua juga akan memastikan pihak Jepang tahu Amerika bisa dan bersedia menggunakannya lebih dari sekali.
Berakhirnya Perang Pasifik
Tanggal 6 Agustus 1945 jam 08.16, bom atom “Little Boy” akhirnya dijatuhkan ke kota Hiroshima. Pihak Jepang heran, kenapa semua komunikasi dengan kota Hiroshima terputus? Mereka terpana saat melihat kota Hiroshima sudah jadi puing. Sekitar 130 ribu rakyatnya tewas, terluka, dan hilang. Setahu mereka, cuma satu B-29 Amerika melewati kota tersebut, bukannya ratusan. Hari itu juga, pihak Amerika mengumumkan bahwa kehancuran Hiroshima disebabkan oleh bom atom. Ilmuwan-ilmuwan Jepang masih tak percaya Amerika Serikat bisa menghancurkan sebuah kota cuma dengan satu buah bom3.
Ketika para elite Jepang masih shock karena kehancuran Hiroshima, 1,5 juta tentara Uni Soviet menyerang Manchuria pada 9 Agustus jam 1 pagi. Pihak Uni Soviet melancarkan Operasi “Badai Agustus” yang bertujuan merebut Manchuria dan Korea.
Tentara Jepang yang ada di Manchuria tidak siap diterjang jutaan tentara, ribuan tank, dan ribuan pesawat terbang Uni Soviet. Pihak Uni Soviet mengerahkan tentara-tentara terbaiknya, tentara-tentara veteran yang baru saja mengalahkan Nazi Jerman di Eropa. Tentara yang bersemangat untuk membalas dendam atas kekalahan Rusia di perang 1904-1905. Hasilnya adalah pembantaian. Pasukan Uni Soviet bergerak jauh lebih cepat dengan korban jauh lebih sedikit daripada perkiraan mereka. Hilang sudah harapan Jepang menggunakan jasa Uni Soviet sebagai pendamai.
Di hari yang sama jam 11 siang, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Ledakan yang lebih hebat dari Hiroshima menghancurleburkan kota tersebut. Dalam sekejap mata, lebih dari 60 ribu rakyat Nagasaki tewas, terluka, atau hilang. Ledakan bom atom kedua ini membuktikan bahwa pihak Amerika Serikat punya lebih dari satu bom atom dan siap menggunakannya4.
Para elite Jepang kini mau tak mau harus mengakui, mereka harus menyerah. Namun, biarpun tahu mereka harus menyerah, mereka masih hendak memberi syarat kepada pihak Amerika Serikat. Mantan PM Fumimaro Konoe langsung mengingatkan, pihak Amerika menuntut “Menyerah tanpa syarat”, memberikan syarat sama saja dengan menolak menyerah. Sayangnya, gengsi para elite ini masih terlalu tinggi untuk “Menyerah tanpa syarat”.
Mendekati tengah malam tanggal 9 Agustus itu, kaisar Hirohito sendiri akhirnya bergabung dalam perdebatan ini. Para menteri mengingatkan sang kaisar, menyerah tanpa syarat bisa berarti berakhirnya kekuasaan kaisar Hirohito, berakhirnya sistem kekaisaran. Untungnya, kali ini gengsi dan harga diri tidak mengaburkan sang kaisar. Sekitar jam 3-4 pagi tanggal 10 Agustus, Hirohito dan elite Jepang akhirnya menerima kenyataan bahwa mereka harus menyerah tanpa syarat. Budaya Jepang yang mengharamkan kata “Menyerah” akhirnya menyerah juga.
“Cuma” butuh 2 bom atom, kelaparan massal, dan kehancuran total infrastruktur Jepang untuk membuat Jepang menyerah.
Kesimpulan
Jadi apa pelajaran yang bisa kita petik dari Perang Pasifik dan dua bom atom ini? Buat gw sih, minimal ada 3 pelajaran penting.
1. Gengsi dan Nasionalisme yang Berlebihan
Pertama, demi gengsi dan nasionalisme yang menghasilkan hasrat untuk menjadikan Jepang negara terhebat di dunia, Jepang berperang melawan Amerika Serikat yang jauh lebih kuat. Gengsi dan nasionalisme memang penting, tapi harus diingat juga, keduanya bisa membutakan akal sehat. Kebutaan pikiran berujung pada matinya jutaan rakyat Jepang dan rakyat lain.
2. Prinsip “Jangan Pernah Menyerah”
Kedua, prinsip “Jangan pernah menyerah” yang begitu sering didengung-dengungkan oleh para motivator. Pada beberapa kasus, prinsip ini sebetulnya bisa mencelakakan. Ada saatnya kita memang harus menyerah. Ada saatnya kita harus mengakui niat dan cara kita salah. Ada saatnya kita harus berhenti, lalu bilang “Maaf, saya salah.” Ini yang enggak pernah dikasih tahu sama para motivator itu, bahwa “Tidak pernah menyerah” itu sama saja dengan “Tidak pernah meminta maaf” sebab permintaan maaf sejati harus diikuti oleh berhenti melakukan apa yang kita sedang lakukan, dan berbalik mundur.
Kita harus tahu kapan kita menyerah berdasarkan data dan fakta yang ada yang diolah secara rasional, bukannya secara bapermenggunakan emosi dan tradisi semata seperti yang elite-elite Jepang lakukan waktu itu. Makanya kita harus terus belajar, belajar, belajar. Tahu kapan kita harus menyerah dan tahu kapan kita tidak boleh menyerah adalah pelajaran yang harus kita dalami setiap harinya.
3. Moralitas Bom Atom
Kita tentunya berharap dunia ini damai-damai saja. Tapi di setiap masa, ada saja pihak yang tidak puas dan ingin mengubah tatanan dunia yang sudah ada. Tambah lagi, tidak seperti dunia dongeng, di mana ada pilihan baik dan ada pilihan buruk, di dunia nyata sering kali kita berhadapan dengan kemungkinan buruk dan super buruk.
Bom atom Hiroshima dan Nagasaki adalah pilihan mengerikan. Namun, alternatifnya jauh lebih mengerikan lagi, yaitu tewasnya sebagian besar rakyat Jepang karena kelaparan atau tewasnya jutaan rakyat Jepang dan tentara Amerika Serikat akibat Operasi Olympic. Dihadapkan pada pilihan seperti itu, pihak Amerika Serikat saat itu terpaksa mengambil pilihan untuk menjatuhkan bom atom. Pilihan-pilihan ini disediakan bukan cuma oleh pihak Amerika Serikat, tapi juga oleh pihak Jepang. Pilihan yang jauh lebih baik adalah Jepang menyerah bulan Juni 1944, sebelum kotanya dibakar oleh hujan bom, sebelum kapal-kapal tempur Amerika meneror pantai-pantai Jepang. Sebelum ratusan ribu orang Jepang tewas akibat badai api di kota-kota yang dibom. Sebelum kekurangan BBM menghancurkan ekonomi dan militer Jepang.
Menyalahkan pihak Amerika Serikat sebagai “tak bermoral” itu mudah. Menerima tanggung jawab bahwa bom atom itu adalah konsekuensi tingkah laku Jepang itu sulit. Teramat sulit. Ngapain mengakui kesalahan kalau bisa mengaku-ngaku jadi korban?
Tapi, daripada gw sendiri yang kasih kesimpulan di sini dan kita cuma nunjuk-nunjuk kesalahan orang lain, gw coba tanyakan balik ke lo.
Coba tempatkan diri lo sebagai pengambil keputusan saat itu.
Jika lo ada di posisi elite Jepang. Apakah lo akan mengambil langkah yang sama dengan mereka saat itu? Apakah mengorbankan jutaan rakyat adalah harga yang sepadan demi supremasi negara Jepang? Apakah lo setuju dengan semangat pantang menyerah Jepang yang mengandalkan semuanya di one final battle? Apakah menurut lo Jepang pantas menerima bom atom atas tingkah lakunya sendiri?
Sekarang, coba lo yang ada di posisi elite Amerika Serikat. Apa yang akan lo lakukan kalo ada negara lain yang tiba-tiba menyerang tanpa peringatan sekalipun? Apa lo lebih memilih diplomasi damai dengan risiko dianggap lembek oleh rakyat sendiri dan keluarga korban yang menuntut pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa prajurit AS? Ketika lo dihadapkan dengan Jepang yang gaknyerah-nyerah, apakah lo memilih melaksanakan Operasi Olympic, meneruskan bencana kelaparan, atau juga terpaksa menjatuhkan bom atom?
Ayo coba utarakan pendapat lo. Kita diskusi di bagian komen di bawah ya.